Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), serta Otoritas Layanan Keuangan (OJK) menegaskan larangan pemakaian mata uang kripto, Bitcoin jadi alat transaksi pembayaran yang sah. Bahkan juga regulator sudah melarang instansi layanan keuangan pasarkan product itu. Penegasan itu di sampaikan pemerintah serta otoritas industri keuangan, bersamaan dengan timbulnya beberapa puluh pedagang (merchant) yang terima mata uang kripto jadi alat pembayaran dalam tiap-tiap transaksi. Sejumlah 44 merchant di lokasi Bali, mulai sejak akhir th. lantas sudah teridentifikasi oleh Kantor Perwakilan BI Bali terima Bitcoin.
Kepala Kantor Perwakilan BI Bali Causa Iman Karana menyatakan, sebagian besar merchant yang sudah teridentifikasi terima Bitcoin sudah memperoleh imbauan dengan penuh. Mengenai type usahanya, tidak sama dari mulai hotel, cafe, agen sewa mobil, s/d agen sewa perjalanan. Berdasar pada hasil investigasi bank sentral, ketidaktahuan jadi argumen paling utama beberapa puluh merchant itu terima Bitcoin jadi alat pembayaran. Walau sekarang ini sebagian besar merchant itu telah tidak terima Bitcoin, tetapi BI mencatat masih tetap ada dua merchant yang belum juga koperatif.
“Kami masih tetap bekerjasama dengan kantor pusat untuk tindak lanjutnya. Tapi kurun waktu dekat, kami juga akan kerjakan pertemuan sekali lagi, ” kata Causa waktu terlibat perbincangan dengan CNBC Indonesia. Hasil investigasi BI juga temukan kenyataan, transaksi memakai bitcoin di tiap-tiap merchant begitu tidak praktis, karna nominalnya tidak dapat dibulatkan sesuai sama nominal harga yang berlaku di tiap-tiap merchant. Hal itu, diinginkan jadi kesadaran untuk orang-orang tidak untuk memakai bitcoin jadi alat pembayaran.
“Misalkan pesan minum Rp 50. 000 di cafe. Bila memakai Bitcoin, transaksi minimum Rp 233. 000. Belum juga ada penambahan cost transaksi sekitaran Rp 133. 000. Jadi untuk harga Rp 50. 000, mesti keluarkan Rp 360. 000. Kemudian, tetaplah mesti menanti konfirmasi pembayaran lewat Bitcoin sekitaran 1/2 jam. Ini jadi tidak praktis, ” jelasnya.
Larang Keras
Larangan pemakaian Bitcoin sudah diserukan BI mulai sejak akhir th. lantas, bersamaan perubahan mata uang virtual yang bergerak tidak lumrah, hingga di kuatirkan juga akan menyebabkan orang-orang. Bukan sekedar untuk masyarak pemakai, tetapi juga efek pada kestabilan system keuangan.
Larangan ketentuan itu, sudah diterbitkan dalam beberapa ketentuan. Paling tidak, ada empat payung hukum sebagai landasan bank sentral melarang pemakaian bitcoin yaitu Undang-Undang (UU) 7/2011 mengenai Mata Uang, serta Ketentuan BI (PBI) 17/3/PBI/2015 mengenai keharusan pemakaian rupiah.
Lalu, PBI 18/40/PBI/2016 mengenai penyelenggaraan PTP, serta PBI 19/12/PBI/2017 mengenai penyelenggaraan TekFin. Mengenai resiko mata uang digital, dapat punya pengaruh pada system pembayaran, kestabilan system keuangan, perlindungan customer, serta mengedarnya bebrapa kesibukan ilegal.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso sekian waktu lalu juga melarang semua instansi layanan keuangan yang memakai, atau pasarkan product yg tidak mempunyai legalitas izin dari otoritas berkaitan, yang dalam hal semacam ini Bitcoin.
Terbaru, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dengan tegas melarang pemakaian Bitcoin jadi alat transaksi, karena tidak mempunyai landasan hukum. Terkecuali tak ada payung hukum yang memagari, transaksi memakai mata uang kripto memiliki kandungan beragam resiko.
Berikut penegasan Sri Mulyani, berkaitan dengan pemakaian mata uang kripto :
Pemakaiaan mata uang virtual jadi alat transaksi sampai sekarang ini tidak mempunyai landasan resmi. Merujuk pada Undang Undang No. 7 Th. 2011 mengenai Mata Uang, ditegaskan kalau mata uang yaitu uang yang di keluarkan oleh Negara Kesatuan Republik IndoneSia serta tiap-tiap transaksi yang memiliki tujuan pembayaran. atau keharusan beda yang perlu dipenuhi dengan uang, atau transaksi keuangan yang lain yang dikerjakan di Lokasi Negara Kesatuan Republik IndoneSia harus memakai Rupiah. Oleh karenanya, Kementerian Keuangan mensupport kebijakan Bank Indonesia sebagai otoritas moneter serta system pembayaran tidak untuk mengaku mata uang virtual jadi alat pembayaran yang sah. hingga dilarang dipakai jadi alat pembayaran yang sah.
Mengingat belum juga ada otoritas yang mengatur serta mengawasinya, pemakaian mata uang virtual riskan dipakai untuk transaksi ilegal. pencucian uang serta pendanaan terorisme. Keadaan transaksi seperti ini bisa buka kesempatan pada tindak penipuan serta kejahatan dalam beragam memiliki bentuk yang bisa merugikan orang-orang.
Terkecuali resiko yang didapat dari mempunyai serta/atau memperjualbelikan mata uang virtual yang mempunyai ketidakjelasan underlying asset yang mendasan nilainya, transaksi mata uang virtual yang spekulatif bisa menyebabkan resiko pengggelembungan nilai (bubble) yang bukan sekedar merugikan orang-orang tetapi juga berpotenSi mengganggu kestabilan system keuangan. Kementerian Keuangan selalu bekerja bersama dengan otoritas keuangan yang lain untuk menyimak dengan cermat perubahan pemakaian mata uang virtual ini serta ambil beberapa langkah terarah yang dibutuhkan untuk memitigiasi resiko peredaran serta pemakaian mata uang virtual dalam rencana melindungi kebutuhan orang-orang dan melindungi kredibiltas serta kestabilan system keuangan.